Beranda | Artikel
Dua Kaidah Penting Terkait Amal
Selasa, 1 April 2014

Perbuatan manusia, secara umum, bisa kita bagi menjadi dua kategori:

Pertama: Ibadah mahdhah, alias “murni ibadah”. Inilah perbuatan yang dilakukan manusia dengan motivasi pokok: mendapatkan manfaat di akhirat, misalnya: salat, puasa ramadan, dan lain-lain.

Kedua: Ibadah ghair mahdhah atau “perkara non-ibadah”. Inilah segala hal yang dilakukan oleh manusia dengan motivasi pokok: mendapatkan manfaat duniawi, misalnya: jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain.

Masing-masing dari dua jenis tindakan manusia ini memiliki kaidah mendasar yang perlu diketahui oleh setiap muslim.

Untuk ibadah mahdhah, pada dasarnya, kita dilarang untuk melakukannya, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dituntunkan. Sehingga, siapa saja yang mengajak kita untuk melakukan suatu ibadah maka kita menuntutnya untuk membawakan bukti nyata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.

Landasan kaidah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عن عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ  مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ  أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Dari Bunda Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan amal ibadah yang tidak kami ajarkan, maka amal ibadah tersebut adalah amal ibadah yang tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)

Hadis ini jelas menunjukkan terlarangnya melakukan amal ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, tidak semua perkara yang dikatakan oleh orang-orang sebagai ibadah boleh kita telan mentah-mentah, namun kita perlu bersikap selektif. Jika memang ibadah semacam itu dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mari kita menjalankannya dengan penuh semangat. Akan tetapi, jika ternyata ibadah semacam itu tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya–dengan penuh kelapangan dada–kita tinggalkan hal tersebut, meski hal tersebut adalah peninggalan leluhur yang sangat kita hormati atau pendapat kiai yang sangat kita kagumi.

Sebaliknya, dalam masalah non-ibadah, pada dasarnya, semua yang dilakukan manusia itu boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang melarangnya.

Sehingga, siapa saja yang melarang kita untuk melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori non-ibadah maka kita menuntut dia untuk mendatangkan bukti bahwa ajaran Islam memang melarang untuk melakukannya.

Landasan kaidah ini adalah firman Allah,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dialah yang menciptakan, untuk kalian semua, segala sesuatu yang ada di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah:29)

Jika Allah menciptakan semua yang ada di muka bumi ini untuk kita, maka pada dasarnya, kita  (manusia) diperbolehkan untuk mengolah semua hal yang ada di muka bumi untuk kepentingan kita, kecuali pengolahan yang dilarang oleh Allah sendiri.

Tidak ada satu pun permasalahan muamalah yang keluar dari kaidah ini–yaitu, dari hukum mubah berubah menjadi haram–kecuali karena ada hal terlarang di dalamnya, yang intinya adalah adanya pihak yang terzalimi, misalnya: karena di dalamnya terdapat praktik riba, adanya penipuan, dan adanya gharar (gambling) karena terdapat hal-hal yang tidak transparan. Pokok ketiga hal ini adalah: adanya pihak-pihak yang terzalimi.

Intinya, perkara muamalah yang diharamkan itu dilarang karena beberapa sebab. Sebab paling utama yang menyebabkan haramnya sebuah transaksi di bidang muamalah ada tiga:

1. Riba, dengan berbagai bentuknya.

2. Gharar.

3. Penipuan.

Rincian tentang tiga hal di atas akan kita bahas di kesempatan yang akan datang.

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2035-dua-kaidah-penting-terkait-amal.html